Ikhlas Adalah Tidak Terpaksa dan Juga Tidak Ada Harapan. Bersih, murni, apa adanya
Ikhlas adalah tidak terpaksa dan juga tidak ada harapan. Bersih, murni, apa adanya.
Langit memberi respon yang sama ketika awan putih dan dan awan hitam lewat. Awan putih lewat langit tetap biru, awan hitam lewat langit pun tetap biru. Ketika awan putih lewat langit tidak bertambah biru, begitu ketika awan hitam lewat, tidak mengurangi birunya langit. Birunya langit itu MANDIRI, tidak bergantung pada datangnya awan putih atau awan hitam.
Begitu pun yang terjadi dalam langit dalam diri kita, ketika tenang hening jernih, karena langit di luar diri kita juga hanya bisa dilihat ketika cuaca sedang cerah, tenang dan jernih, ketika cuaca mendung, hujan deras, apalagi diiringi badai petir walau keci-kecil kita sulit melihat langit biru di luar diri kita. Langit kedamaian yang biru di dalam diri kita, ketika awan pikiran kita tenang, dan suasana hati kita tidak begitu mendung.
Langit kedamaian di dalam batin kita apa pun awan perasaan yang lewat, ketika awan kesedihan lewat, harusnya langit batin kita tetap damai, ketika awan kesenangan lewat, langit kedamaian batin kita pun harusnya tetap damai, kedamaian batin kita itu mandiri, dia bisa memproduksi damai tanpa harus ada kehadiran awan perasaan suka atau pun awan perasaan duka.
Lalu kenapa batin kita berubah-ubah, ketika awan kesenangan datang kita tenang, ketika awan kesedihan datang perasaan kita kacau, jawabannya itu karena kita tidak IKHLAS.
Langit biru tak pernah menolak kehadiran awan hitam, langit biru tetap biru, yang hitam hanya dipermukaan saja, awan hitam setebal apa pun tak pernah bisa menyentuh langit yang biru. Ketinggian awan hitam itu terbatas, sementara ketinggian langit tiada batas. Dan INGAT baik-baik, awan hitam TIDAK PERNAH membahayakan langit biru, tidak akan pernah bisa.
Begitu pun ketika awan putih datang, langit tak pernah menahan supaya selamanya tetap awan putih, dan langit biru tak pernah merasa diuntungkan dengan adanya awan putih, sama saja dengan awan hitam.
Seharusnya kebahagiaan kita berada di langit kedamaian dalam diri kita, yang ada di kedalaman diri kita, bukan di permukaan diri. Awan di permukaan akan terus berganti. lapisan pertama dari diri kita, yang paling permukaan adalah tubuh kita, dan itu pasti ganti, napas masuk PASTI ganti dengan napas keluar, kuku dan rambut kita tiap saat tumbuh dan berganti tidak bisa kita tahan, usia kita terus berganti, umur 20 ganti 21, 21 ganti 22, dan seterusnya, tidak bisa dipercepat, juga tidak bisa diperlambat, mereka jujur, murni apa adanya.
Baca Juga: Mantan Jadi Teman Boleh Tidak?!
lapisan berikutnya adalah awan pikiran dan awan perasaan. Ini pun terus berganti, seperti cuaca di luar diri kita, cuaca di dalam diri pun silih berganti.
Dan ada satu yang tidak berubah, yaitu langit biru di atas sana, ketika langit berubah dari terang menjadi gelap, bukan langitnya yang berubah, tapi sinar mataharinya yang tak sedang menerangi langit, dan dalam gelap langit tetap indah ditemani keremangan rembulan dan taburan bintang-bintang.
Di dalam diri kita pun ada langit batin yang tidak berubah, ia tetap damai, ia tetap bahagia, ia tetap penuh belas kasih. Syarat untuk bisa menyentuh langit di dalam diri kita adalah dengan IKHLAS, tak lagi menolak awan kesedihan, tak lagi berharap awan kesenangan, biar ia berpuatar apa adanya.
Ketika kesedihan datang, ini adalah kenyataan, sama nyatanya dengan datangnya hujan deras. Menolak datangnya hujan adalah kebodohan. Maka ketika kesedihan datang, tanyakan pada diri kita, aku menolak atau menerima kesedihan ini? Ketika jawaban kita menerima itu bagus. Tapi, ketika kita menolak datangnya kesedihan, berarti itu menolak menyataan, berarti kita orang bodoh. Tanyakan pada diri mau jadi orang bodoh atau mau nerima kenyataan? Kalau orang normal biasanya milih nerima. Apakah selesai setelah nerima? oh belum. Banyak sekali orang nerima karena terpaksa nerima atau karena imbalan dapat sesuatu.
Baca Juga: Mengubah Cara / Sistem Kerja, Untuk Memperbesar Wadah Menerima
Ketika sudah nerima, tanya lagi diri kita, nerimanya ikhlas, terpaksa atau karena ada harapan dapat sesuatu (misalnya dengan nerima berharap kesedihan ini hilang)? Kalau jawaban diri kita ikhlas, itu bagus. Dan ikhlas ada cirinya, yaitu lega, kalau gak lega berarti belum ikhlas. Tapi kalau jawabannya masih terpaksa atau masih ngarep imbalan, berarti belum ikhlas, maka tanya lagi, kalau tidak ikhlas, berarti menolak kenyataan, menolak kenyataan berarti orang bodoh, mau jadi orang bodoh atau mau ikhlas? Orang normal biasanya mau ikhlas. Dan biasanya merasa lega, walau tipis rasa leganya.
Kalau kita sudah ikhlas, yang beneran ikhlas, yang ditandai rasa lega, kesedihan kita akan hilang, karena energi yang macetnya sudah lancar.
By Kang. Sarman
Salam - Beri-Jempol69
Post a Comment for "Ikhlas Adalah Tidak Terpaksa dan Juga Tidak Ada Harapan. Bersih, murni, apa adanya"